UNSUR SERAPAN BAHASA INDONESIA
·
Tidak ada dua bahasa yang sama persis apalagi bahasa
yang berlainan rumpun. Dalam proses penyerapan dari bahasa pemberi pengaruh
kepada bahasa penerima pengaruh akan terjadi perubahan-perubahan.
·
Ada proses penyerapan yang terjadi secara utuh, ada
proses penyerapan yang terjadi dengan beberapa penyesuaian itu akan terjadi,
pergeseran baik dalam ucapan maupun
ejaan antar bahasa pemberi dan penerima pengaruh maupun pergeseran
sistematis.
·
Bunyi bahasa dan kosakata pada umumnya merupakan unsur
bahasa yang bersifat terbuka, dengan sendirinya dalam kontak bahasa akan
terjadi saling pengaruh, saling meminjam atau menyerap unsur asing. Peminjaman
ini dilatar belakangi oleh berbagai hal antara lain kebutuhan, pretise, kurang
paham terhadap bahasa sendiri atau berbagai latar belakang yang lain.
·
Sebuah huruf tertentu akan berubah menjadi huruf
lainnya begitu kosakata asing itu kita serap menjadi kosakata Indonesia,
sebagian lainnya tidak berubah.
Contoh : jika ‘ (ain arab) diikuti dengan (a) menjadi (‘a). dalam kaidah bahasa Indonesia
diserap menjadi (a) saja. Seperti kata (manfa’ah) diserap dalam bahasa
Indonesia, ejaan kata serapannya menjadi (manfaat). (‘asr) diserap dalam bahasa
Indonesia, ejaan kata serapannya menjadi (asar). (sa’ah) diserap dalam bahasa
Indonesia, ejaan kata kata serapannya menjadi (saat).
Proses
penyerapan itu dapat dipertimbangkan jika salah satu syarat di bawah ini
terpenuhi, yaitu :
·
Istilah serapan yang dipilih cocok konotasinya
·
Istilah yang dipilih lebih singkat dibandingkan dengan
terjemahan Indonesianya
·
Istilah serapan yang dipilih dapat mempermudah
tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya
Secara umum
kata serapan itu masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan empat cara, yaitu :
- Adopsi,
terjadi apabila pemakai bahasa mengambil bentuk dan makna kata asing itu
secara keseluruhan, contoh : supermarket, plazza, mall.
- Adaptasi,
terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil makna kata asing itu,
sedangkan ejaan atau penulisannya disesuaikan dengan ejaan bahasa
Indonesia, contoh : pluralization – pluralisasi, acceptabilitu –
akseptabilitas.
- Penerjemahan,
terjadi apabila pemakai bahasa mengambil konsep yang terkandung dalam
bahasa asing itu, kemudian kata tersebut dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia, contoh : overlap :tumpang tindih, try out :uji coba,
psychologist – ahli psikolog.
- Kreasi,
terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil konsep dasar yang ada dalam
bahasa Indonesia. Cara ini mirip dengan cara penerjemahan, akan tetapi
memiliki perbedaan. Cara kreasi tidak menuntut bentuk fisik yang mirip
seperti penerjemahan. Boleh saja kata yang ada dalam bahasa aslinya
ditulis dalam dua atau tiga kata, sedangkan bahasa Indonesianya hanya satu
kata saja, contoh :
Effective –
berhasil guna, spare part – suku cadang
PERSPEKTIF ANALOGI DAN ANOMALI KATA SERAPAN DALAM BAHASA INDONESIA
·
Golongan pendukung analogi mengatakan bahwa alam ini
memiliki keteraturan, manusia juga memiliki keteraturan, demikian juga halnya
dengan bahasa.
·
Kelompok analogi mengatakan bahwa bahasa itu teratur.
Keteraturan bahasa membawa konsekuensi dapat disusunnya suatu tata bahasa.
Analogi ini dianut oleh plato dan aristoteles.
·
Prinsip analogi ini sebenarnya merupakan tranformasi
dari keteraturan logika dan matematika di dalam bahasa (kaelan, 1998:36).
·
Sebaliknya kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa itu
berada dalam bentuk tidak teratur (irregular).
·
Sebagai bukti mereka menunjukkan bentuk jamak bahasa
inggris child menjadi children, man menjadi men.
·
Dalam pengertian ini bahasa itu pada hakikatnya
bersifat alamiah. Pendapat kaum anomali ini masih digunakan sebagai salah satu
ciri bahasa bahwa bahasa itu pada hakikatnya arbitrer (parera, 1986:46).
PERSPEKTIF ANALOGI
Analogi adalah
keteraturan bahasa, suatu bahasa dapat dikatakan analogis apabila satuan
tersebut sesuai atau tidak menyimpang dengan konvensi-konvensi yang telah
berlaku.
Pembicaraan
kata serapan apabila bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan atau
penyesuaian-penyesuaian yang terjadi tentu dilakukan dengan membandingkan
antara bahasa pemberi pengaruh dengan bahasa penerima pengaruh. Untuk
membicarakan kata serapan ke dalam bahasa Indonesia tentu dilakukan dengan
memperbandingkan kata-kata sebelum masuk ke dalam bahasa Indonesia dan setelah
masuk ke bahasa Indonesia.
Banyak
sekali kata-kata serapan ke dalam bahasa Indonesia yang ternyata telah sesuai
dengan sistem fonologi dalam bahasa Indonesia baik melalui proses penyesuaian
atau tanpa melalui proses penyesuaian. contoh :
Action
– aksi
Dance
– dansa
Ecology
– ekologi
Fonem a,s,d,e,f,g,h,I,k,l,m,n,o,r,s,
dan t adalah fonem-fonem yang sesuai dengan sistem fonologi dalam bahasa
Indonesia, dengan demikian termasuk pada kriteria yang analogis, artinya sesuai
dengan fonem yang lazim dalam bahasa Indonesia.
Apabila
dikaitkan dengan kenyataan historis ternyata ada kenyataan yang menarik untuk
dicermati yaitu fonem kh dan sy.
Kedua fonem
ini diakui sebagai fonem lazim dalam sistem fonologi bahasa Indonesia. Namun
apabila diselidiki lebih teliti secara historis, ternyata kedua fonem ini bukan
fonem asli Indonesia.
Pada awal
munculnya dalam bahasa Indonesia bisa dianggap sebagai gejala penyimpangan atau
gejala anomalis, tetapi setelah demikian lama berlangsung serta frekuensi
kemunculan yang cukup tinggi, lama-kelamaan akan dianggap sebagai gejala yang
wajar, tidak lagi dianggap gejala penyimpangan, dengan demikian hal ini dapat
disebut sebagai gejala yang analogis.
Perpektif anomaly
Anomali
adalah penyimpangan atau ketidakteraturan bahasa. Suatu aturan dapat dikatakan
anomali apabila satuan bahasa tersebut tidak sesuai atau menyimpang dengan
konvensi-konvensi yang berlaku.
Metode yang
digunakan untuk menentukan anomali bahasa pada kata-kata serapan dalam bahasa
Indonesia di sini adalah sama dengan metode yang digunakan untuk menetapkan
analogi bahasa yaitu dengan memperbandingkan unsur intern dari bahasa penerima
pengaruh, suatu kata yang tampak sebagai kata serapan dibandingkan atau dilihat
dengan kaidah yang berlaku dalam bahas Indonesia.
Apabila kata tersebut ternyata tidak
menunjukan kesesuaian dengan kaidah yang berlaku berarti kata tersebut masuk
kata yang anomalis.
Anomali dalam ejaan
Semua
kata-kata asing yang masih diserap secara utuh tanpa melalui penyesuaian dengan
kaidah di dalam penulisan, pada umumnya merupakan kata-kata yang anomalis di
dalam bahasa Indonesia, contoh :
Bank
– bank
Intern
– intern
Modern
– modern
Kata-kata
seperti di atas termasuk anomali bahasa karena tidak sesuai dengan kaidah di
dalam bahasa Indonesia. Hal-hal yang tidak sesuai di sini adalah : [nk], [rn],
ejaan tersebut tidak sesuai dengan ejaan dalam bahasa Indonesia.
Kadang-kadang
juga ditemukan kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan
ditulis sebagaimana aslinya, akan tetapi untuk muncul sebagai gejala anomalis
karena secara kebetulan kata-kata tersebut tidak menyimpang dengan kaidah
bahasa Indonesia, contoh :
Era –
era
Label
– label
Formal
– formal
Edit
– edit
Etalase
– etalase
Anomali Dalam Fonologi
Kata-kata
asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia secara utuh tanpa mengalami
perubahan penulisan memiliki kemungkinan untuk dibaca sebagaimana aslinya,
sehingga menyebabkan timbulnya anomali dalam fionologi.
Contoh
anomali dalam fonologi :
Export
– export
Expose
– expose
Exodus
– exodus
Anomali Dalam Struktur
Kata
adakalanya terdiri dari satu morfem, tetapi adakalanya tersusun dari dua morfem
atau lebih. Kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah
kata-kata sebagai satu kesatuan yang utuh baik terdiri dari satu morfem, atau
lebih, contoh :
Federalism
– federalism
Bilingual
– bilingual
Dedikasi
– dedication
Edukasi
– education
Kata-kata
dalam contoh di atas, proses penyerapannya dilakukan secara utuh sebagai satu
kesatuan. Jadi kata federalism tidak diserap secara terpisah yaitu federal
dan isme, kata bilingual tidak diserap bi – lingua – al.
kata
serapan dari bahasa inggris yang aslinya berakhir dengan tion yang diserap ke
dalam bahasa Indonesia dengan mengalami penyesuaian sehingga berubah menjadi si
diakhiri kata berlangsung dengan frekuensi sangat tinggi.
Kenyataan
ini melahirkan masalah kebahasaan yaitu munculnya akhiran sasi yang melekat
pada kata-kata yang tidak berasal dari bahasa inggris sehingga timbul kata-kata
seperti :
Islamisasi
= islam+sasi
Jawanisasi
= jawa+sasi
Polarisasi
= pola+sasi
Sebenarnya
akhiran (sasi) di dalam bahasa Indonesia tidak ada. Dengan demikian hal ini
termasuk gejala anomali bahasa. Namun masalah selanjutnya adalah tinggal
masalah pengakuan dari para pakar yang memiliki legalitas di dalam bahasa.
Apakah akhiran (sasi) ini dianggap resmi atau tidak di dalam bahasa indonesia.
Jika dianggap tidak resmi berarti akhiran (sasi) ini benar merupakan gejala
anomali. Tetapi jika akhiran (sasi) ini sudah bias diterima sebagai akhiran
yang lazim dalam bahasa Indonesia maka ada perubahan dari anomali menjadi
analogi.
Analogi dan
anomali bahasa terjadi di dalam bahasa Indonesia dan secara khusus terjadi di
dalam kata-kata serapan ke dalam bahasa Indonesia. Suatu gejala bahasa pada
awalnya bisa dianggap anomali, namun setelah berlangsung terus menerus dengan
frekuensi yang tinggi bisa berubah menjadi analogi.
Suatu
gejala bahasa pakah termasuk ke dalam analogi atau anomali sebenarnya
tergantung pada keberterimaan masyarakat terutama mereka yang memiliki
legalitas tentang bahasa. Penyimpangan bahasa dari konvensi dengan frekuensi
yang kecil cenderung dikatakan sebagai gejala yang anomalis.
SEJARAH BAHASA INDONESIA
Bahasa
indonesia adalah dialek baku dari bahasa melayu riau sebagaimana diungkapkan
oleh ki hajar dewantara dalam kongres bahasa Indonesia 1 1939 di solo :
“jang
dinamakan bahasa Indonesia jaitoe bahasa melajoe jang soenggoehpoen pokoknja
berasal dari melajoe riaoe, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe di
koerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe
moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia ; pembaharoean bahasa melajoe
hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang
beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”.
Istilah
melayu atau malayu berasal dari kerajaan malayu, sebuah kerajaan hindu-budha
pada abad ke-7 di hulu sungai batang hari, yaitu wilayah pulau sumatera.
Kerajaan
Sriwijaya diketahui dari abad ke-7 masehi diketahui memakai bahasa melayu
sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasati kuno yang ditemukan di sumatera bagian
selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa melayu yang bertaburan
kata-kata pinjaman dari bahasa sansekerta, suatu bahasa indo-eropa dari cabang
indo-iran.
Ada
bebarapa prasasti yang bertuliskan bahasa melayu kuno dengan memakai huruf
pallawa (India) yang banyak dipengaruhi bahasa sansekerta, jadi bahasa pada
waktu itu belum menggnakan huruf latin. Bahasa melayu kuno ini kemudian
berkembang di berbagai tempat di Indonesia, terutama pada masa Hindu dan pada
masa awal kedatangan Islam (abad-13).
Teks yang
terdapat dalam kutipan naskah prasasti Kedukan Bukit adalah:
“Swastie syrie syaka warsaatieta 605
ekadasyii syuklapaksa wulan waisyaakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap
siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan jyestha dapunta hyang
marlapas dari minanga taamwan….”
(selamat! Pada tahun syaka 605 hari
kesebelas pada masa terang bulan Waisyaaka, tuan kita yang mulia naikk di
perahu menjemput Siddhayaatra. Pada hari ke tujuh, pada masa terang bulan
Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan….)
Dalam
kutipan naskah tersebut terdapat beberapa kata yang mengalami perubahan fonem,
seperti fonem /w/ menjadi /b/ atau /sy/ menjadi /s/.
Beberapa
kata yang mengalami perubahan fonem tersebut, saat ini dapat digolongkan
sebagai kata serapan dalam bahasa Indonesia.
Berikut ini
perubahan fonem dalam kutipan naskah prasasti Kedukan Bukit:
Perubahan
fonem sy à s
syaka : saka
waisyaakha : waisak
Perubahan
fonem w à b dan w à p
wulan : bulan
saamwan : sampan
Minanga
Taamwan diartikan sebagai muara yang berada di daerah Palembang.
Tanggal 11
bulan terang Waaisyakha (tanggal 23 April 683 M) Dapunta Hyang naik perahu.
Tanggal 7
bulan terang Jyestha (tanggal 19 Mei 683 M) Dapunta Hyang berangkat dari
Minanga Taamwan.
Berdasarkan
penanggalan tersebut, waktu yang ditempuh kira-kira selama 26 hari perjalanan. Berdasarkan selang waktu
itu, para ahli menyimpulkan perjalanan Dapunta Hyang tanggal 11 bulan terang
Waaisyakha itu langsung menuju Minanga Taamwan.
Dalam kutipan naskah ini menggunakan bahasa Melayu Kuno,
sedangkan hurufnya menggunakan huruf latin. Pada kenyataannya huruf yang
digunakan dalam naskah yang sesungguhnya merupakan sebuah prasasti, jenis
hurufnya adalah huruf Pallawa.
Tujuan yang
terdapat dalam kutipan naskah tersebut mengabarkan kemenangan yang diperoleh
raja Dapunta Hyang dari peperangan melawan Melayu.
Peristiwa
yang terdapat dalam naskah tersebut adalah peristiwa perjalanan Dapunta Hyang
ketika menuju peperangan dan akhirnya memperoleh kemenangan.
Dapunta
Hyang merupakan gelar bagi raja Sriwijaya, yaitu Raja Sri Jayanasa.
Lingua
franca ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat
lalu lintas perdagangan. Ejaan latin bahasa melayu mulai ditulis oleh Pigafetta,
setelah tiga abad kemudian ejaan ini baru mendapat perhatian dengan
ditetapkannya ejaan van Ophuijsen.
Pada awal
abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahas melayu mulai terlihat di
tahun 1901, Indonesia mengadopsi ejaan van ophuijsen. Bahasa melayu sendiri
menyerap kosakata dari berbagai bahasa terutama dari bahasa sansekerta, Persia,
arab dan eropa.
0 komentar:
Posting Komentar